Jumat, 11 Agustus 2017

CRITICAL REVIEW Standar Audit (SA) 800



AUDITING LANJUTAN
CRITICAL REVIEW Standar Audit (SA) 800

Dosen Pengampu:
M. Kuncoro Budi Santoso, SE., Ak., MM., CA., CPA., BKP
         Oleh:
         Nama : Nuryanti        
          NIM   : 16919003

A.    PENDAHULUAN
Globalisasi dunia usaha dan pasar modal telah menumbuhkan minat dan tren yang kuat untuk mengembangkan standar akuntansi dan audit yang seragam di seluruh dunia. Saat ini, para wakil dari berbagai negara bekerja bersama dalam proyek penetapan stnadar untuk mengoordinasikan standar audit internasional yang baru.
International Standards on Auditing (ISA) diterbitkan oleh International Auditing Practices Committee (IAPC) dari International Federation of Accountants (IFAC). IFAC adalah organisasi profesi akuntansi sedunia, dengan 163 organisasi anggota di 120 negara, yang mewakili lebih dari 2,5 juta akuntan di seluruh dunia. IAPC berupaya meningkatkan keseragaman praktik audit dan jasa-jasa terkait di seluruh dunia dengan menerbitkan persyaratan mengenai berbagai fungsi audit dan atestasi serta mendorong penerimaannya di seluruh dunia.
ISA secara umum serupa dengan GAAS di Indonesia, meskipun ada beberapa perbedaan. Jika auditor di Indonesia mengaudit laporan keuangan historis sesuai dengan ISA, auditor harus memenuhi semua persyaratan ISA yang jauh diluar cakupan GAAS.
ISA tidak mengesampingkan peraturan-peraturan yang berlaku di suatu negara yang mengatur audit atas informasi keuangan atau informasi lainnya, karena peraturan di setiap negara itu sendiri biasanya mengatur praktik-praktik audit. Peraturan ini mungkin berupa ketetapan atau pernyataan yang dikeluarkan oleh badan pengatur atau badan profesional.
 
B.  PEMBAHASAN
3.1 Standar Audit 800 “Pertimbangan Khusus-Audit Atas Laporan Keuangan Yang Disusun Sesuai Dengan Kerangka Bertujuan Khusus”
            Standar Audit (”SA”) 100–700 diterapkan dalam audit atas laporan keuangan. SA 800 mengatur pertimbangan khusus dalam penerapan SA 100–700 dalam audit atas laporan keuangan yang disusun sesuai dengan kerangka bertujuan khusus. SA ini ditulis dalam konteks satu set lengkap laporan keuangan yang disusun sesuai dengan kerangka bertujuan khusus.
            Auditor dapat menerapkan SA ini dalam audit atas laporan keuangan yang disusun sesuai dengan kerangka bertujuan khusus, adalah untuk menangani dengan tepat pertimbangan khusus yang relevan dengan hal-hal sebagai berikut:
  • Penerimaan perikatan
  • Perencanaan dan pelaksanaan perikatan tersebut
  • Perumusan opini dan pelaporan atas laporan keuangan
3.1.1 Pertimbangan dalam Penerimaan Perikatan
3.1.1.1 Keberterimaan Kerangka Pelaporan Keuangan
            Auditor diharuskan untuk menentukan keberterimaan kerangka pelaporan keuangan yang diterapkan dalam penyusunan laporan keuangan. Dalam suatu audit atas laporan keuangan bertujuan khusus, auditor harus memperoleh suatu pemahaman tentang:
  • Tujuan disusunnya laporan keuangan
  • Pengguna laporan keuangan yang dituju
  • Langkah-langkah yang dilakukan oleh manajemen untuk menentukan bahwa kerangka pelaporan keuangan yang berlaku dapat diterima sesuai dengan kondisinya.
            Dalam hal laporan keuangan bertujuan khusus, kebutuhan informasi keuangan dari pengguna yang dituju merupakan suatu faktor utama dalam penentuan tingkat keberterimaan kerangka pelaporan keuangan yang diterapkan dalam penyusunan laporan keuangan.
            Kerangka pelaporan keuangan yang berlaku dapat mencakup standar pelaporan keuangan yang ditetapkan oleh suatu organisasi yang memiliki wewenang atau diakui untuk menetapkan standar bagi laporan keuangan bertujuan khusus. Dalam kondisi tersebut, standar tersebut akan dianggap dapat diterima untuk tujuan tersebut jika organisasi tersebut mengikuti suatu proses yang terstandardisasi dan transparan yang melibatkan pemikiran dan pertimbangan atas pandangan dari pemangku kepentingan yang relevan. Dalam beberapa yurisdiksi, peraturan perundang-undangan dapat menentukan kerangka pelaporan keuangan yang digunakan oleh manajemen dalam penyusunan laporan keuangan bertujuan khusus bagi entitas jenis tertentu.
            Kerangka pelaporan keuangan yang berlaku dapat mencakup ketentuan pelaporan keuangan suatu kontrak, atau sumber-sumber selain sumber yang telah dijelaskan dijelaskan sebelumnya. Dalam hal tersebut, keberterimaan kerangka pelaporan keuangan dalam kondisi perikatan ditentukan dengan mempertimbangkan apakah kerangka tersebut memiliki atribut yang pada umumnya dimiliki oleh kerangka pelaporan keuangan yang dapat diterima sebagaimana dijelaskan dalam Lampiran 2 dari SA 210. Dalam hal kerangka bertujuan khusus, signifikansi yang relatif dari setiap atribut terhadap suatu perikatan tertentu yang umumnya dimiliki oleh kerangka pelaporan keuangan yang dapat diterima merupakan pertimbangan profesional.

3.1.2 Pertimbangan dalam Perencanaan dan Pelaksanaan Audit
·         SA 200 mengharuskan auditor untuk mematuhi seluruh SA yang relevan dengan audit. Dalam perencanaan dan pelaksanaan audit atas laporan keuangan bertujuan khusus, auditor harus menentukan apakah penerapan SA mengharuskan pertimbangan khusus sesuai dengan kondisi perikatan.
SA 200 mengharuskan auditor untuk mematuhi:
  1. Ketentuan etika yang relevan, termasuk hal yang berkaitan dengan independensi, terkait dengan perikatan audit atas laporan keuangan
  2. Semua SA yang relevan untuk audit
      SA 200 juga mengharuskan auditor untuk mematuhi setiap ketentuan yang tercantum di dalam suatu SA kecuali jika, keseluruhan SA tidak relevan atau ketentuan yang tercantum di dalam SA tidak relevan terhadap kondisi audit, karena ketentuan tersebut bersifat kondisional, dan kondisi tersebut tidak ada. Dalam kondisi pengecualian, auditor dapat memutuskan untuk menyimpang dari ketentuan yang berlaku di dalam suatu SA dengan melaksanakan prosedur audit alternatif untuk mencapai tujuan ketentuan tersebut.
      Penerapan beberapa ketentuan SA dalam suatu audit atas laporan keuangan bertujuan khusus menuntut pertimbangan khusus auditor. Sebagai contoh, dalam SA 320, pertimbangan tentang hal yang material bagi pengguna laporan keuangan didasarkan pada pertimbangan kebutuhan informasi keuangan umum pengguna laporan keuangan sebagai suatu kesatuan. Namun dalam kasus suatu audit atas laporan keuangan bertujuan khusus, pertimbangan tersebut didasarkan pada kebutuhan informasi keuangan pengguna yang dituju.
      Dalam kasus laporan keuangan bertujuan khusus seperti laporan yang disusun untuk memenuhi ketentuan suatu kontrak, manajemen dapat menyepakati dengan pengguna laporan keuangan bertujuan khusus, atas kesalahan penyajian yang teridentifikasi di bawah ambang batas tidak akan dikoreksi atau disesuaikan. Adanya ambang batas tersebut tidak membebaskan auditor dari keharusan untuk menentukan tingkat materialitas sesuai dengan SA 320, untuk tujuan perencanaan dan pelaksanaan audit atas laporan keuangan dengan tujuan khusus.
      Komunikasi dengan pihak yang bertanggung jawab atas tata kelola berdasarkan SA didasarkan pada hubungan antara pihak yang bertanggung jawab atas tata kelola dengan laporan keuangan yang diaudit. Terutama apakah pihak tersebut bertanggung jawab untuk mengawasi penyusunan laporan keuangan. Dalam kasus laporan keuangan bertujuan khusus, pihak yang bertanggung jawab atas tata kelola mungkin tidak memiliki tanggung jawab tersebut; sebagai contoh, pada saat laporan keuangan tersebut disusun semata-mata hanya untuk digunakan oleh manajemen. Dalam kasus ini, ketentuan SA 260 mungkin tidak relevan dalam audit atas laporan keuangan bertujuan khusus, kecuali jika auditor juga bertanggung jawab terhadap audit atas laporan keuangan bertujuan umum atau, sebagai contoh, auditor telah sepakat dengan pihak yang bertanggung jawab atas tata kelola untuk mengomunikasikan hal-hal relevan yang teridentifikasi selama audit atas laporan keuangan bertujuan khusus.

·         SA 315 mengharuskan auditor untuk memperoleh suatu pemahaman tentang pemilihan dan penerapan kebijakan akuntansi entitas. Dalam hal laporan keuangan disusun sesuai dengan klausul suatu kontrak, auditor harus memperoleh suatu pemahaman tentang setiap interpretasi signifikan atas kontrak yang dibuat oleh manajemen dalam penyusunan laporan keuangan tersebut. Suatu interpretasi dianggap signifikan ketika penggunaan interpretasi lain yang wajar akan menghasilkan suatu perbedaan material dalam informasi yang disajikan dalam laporan keuangan.

3.1.3 Perumusan Opini dan Pertimbangan dalam Pelaporan
            Ketika merumuskan suatu opini dan melaporkan laporan keuangan bertujuan khusus, auditor harus menerapkan ketentuan dalam SA 700.
            SA 700 mengharuskan auditor untuk mengevaluasi apakah laporan keuangan mengacu atau menjelaskan kerangka pelaporan keuangan yang berlaku secara memadai. Dalam hal laporan keuangan disusun sesuai dengan klausul suatu kontrak, auditor harus mengevaluasi apakah laporan keuangan menjelaskan secara memadai setiap interpretasi signifikan atas kontrak yang mendasari penyusunan laporan keuangan.
            SA 700 mengatur bentuk dan isi laporan auditor. Dalam hal laporan auditor atas laporan keuangan bertujuan khusus, auditor harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
  1. Laporan auditor juga harus menjelaskan tujuan disusunnya laporan keuangan, dan jika diperlukan, pengguna yang dituju, atau pengacuan pada suatu catatan atas laporan keuangan yang berisi informasi tentang hal tersebut
  2. Jika manajemen memiliki suatu pilihan atas kerangka pelaporan keuangan dalam penyusunan laporan keuangan tersebut, penjelasan tentang tanggung jawab manajemen atas laporan keuangan juga harus dibuat sebagai suatu acuan pada tanggung jawabnya untuk menentukan bahwa kerangka pelaporan keuangan yang berlaku dapat diterima sesuai dengan kondisinya.

            Laporan auditor atas laporan keuangan bertujuan khusus harus mencantumkan suatu paragraf Penekanan suatu Hal yang memperingatkan pengguna laporan auditor bahwa laporan keuangan disusun sesuai dengan suatu kerangka bertujuan khusus dan bahwa, sebagai akibatnya, laporan keuangan belum tentu sesuai untuk tujuan lain. Auditor harus mencantumkan paragraf ini dengan menggunakan suatu judul yang tepat. Laporan keuangan bertujuan khusus mungkin digunakan untuk tujuan selain tujuan awalnya. Sebagai contoh, badan pengatur dapat mengharuskan entitas tertentu untuk menempatkan laporan keuangan bertujuan khusus dalam dokumen publik. Untuk menghindari kesalahpahaman, auditor harus memperingatkan pengguna laporan auditor tersebut bahwa laporan keuangan disusun berdasarkan kerangka tujuan khusus, yang mungkin tidak sesuai dengan tujuan lain

C.  Critical Review
3.1 Critical Review Standar Audit (SA) 800
ISA 800 mengharuskan laporan auditor untuk menjelaskan tujuan atas penyususnan laporan keuangan dan jika menjelaskan tujuan atas penyusunan laporan keuangan dan jika diperlukan, pengguna yang dituju atau pengacuan pada suatu catatan atas laporan keuangan yang berisi informasi tentang hal  tersebut. Seksi 800 dlam GAAS tidak termasuk persyaratan tersebut ketika  laporan keuangan bertujuan khusus disusun sesuai basis akuntansi lkas atau pajak. dalam ISA 800 mengharuskan laporan auditor untuk memasukan paragraph “penekeanan suatu hal” yang memperingatkan pengguna bahwa laporan keuangan disusun sesuai dengan kerangka bertujuan khusus dan sebagai hasilnya, laporan keuangan belum tentu sesuai untuk tujuan lain. Penulis mengusulkan untuk memaparkan secara jelas pihak-pihak yang bertanggungjawab atas tata kelola yang baik sehingga laporan keuangan yang disusun tidak hanya semata-mata  digunakan oleh manajemen. Karena menurut ketentuan SA 260 mungkin tidak relevan dalam audit atas laporan keuangan bertujuan khusus, kecuali jika auditor juga bertanggung jawab terhadap audit atas laporan keuangan bertujuan umum atau, sebagai contoh, auditor telah sepakat dengan pihak yang bertanggung jawab atas tata kelola untuk mengomunikasikan hal-hal relevan yang teridentifikasi selama audit atas laporan keuangan bertujuan khusus.


REFERENSI

Institut Akuntan Publik Indonesia. Standar Audit 800 - Pertimbangan Khusus-Audit atas Laporan Keuangan yang Disusun Sesuai dengan Kerangka Bertujuan Khusus. Jakarta: Dewan Standar Profesi Institut Akuntan Publik Indonesia.
Institut Akuntan Publik Indonesia. Standar Audit 810 - Perikatan untuk Melaporkan Ikhtisar Laporan Keuangan. Jakarta: Dewan Standar Profesi Institut Akuntan Publik Indonesia.
 Tuanakotta, T. M. (2014). Audit Berbasis ISA (International Standards On Auditing). (E. S. Suharsi, Ed.). Jakarta: Salemba Empat.
Tuanakotta, T. M. (2015). Audit Kontemporer. (E. S. Suharsi, Ed.). Jakarta: Salemba Empat.

CRITICAL REVIEW PSAK 19 Aktiva Tidak Berwujud



AUDITING  LANJUTAN
CRITICAL REVIEW  PSAK 19
Aktiva Tidak Berwujud


Dosen Pengampu :
M. Kuncoro Budi Santoso, SE., Ak., MM., CA., CPA., BKP

DI SUSUN OLEH 
Nama : Nuryanti
 16919003



A.    PENDAHULUAN
Standar akuntansi merupakan salah satu hal yang penting dalam profesi dan semua pemakai laporan keuangan baik internal maupun eksternal . Oleh karena itu, mekanisme penyusunan standar akuntansi harus diatur sedemikian rupa sehingga dapat memberikan kepuasan kepada semua pihak yang berkepentingan. Standar akuntansi akan terus berubah dan berkembang sesuai dengan perkembangan dan tuntutan masyarakat Standar akuntansi yang ada di Indonesia, yaitu Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) telah dikonvergensikan ke dalam IFRS. Dalam kurun waktu 2008-2012 konvergensi dilakukan dengan cara mengurangi perbedaan secara bertahap antara PSAK dan IFRS, sehingga pada akhirnya pelaporan keuangan perusahaan publik akan menggunakan IFRS. Ketika hal tersebut terjadi, Indonesia akan bergabung dengan 102 negara yang telah memperbolehkan atau mengharuskan penggunaan IFRS untuk pelaporan keuangan.
sejalan dengan kesepakatan antar negara-negara yang bergabung dalam G-20 dimana Indonesia merupakan salah satu anggotanya yang memiliki tujuan untuk menciptakan suatu standar akuntansi yang berkualitas yang berlaku secara internasional. PSAK yang sebelumnya berkiblat pada Generally Accepted Accounting Principles (GAAP), dalam konsep pengakuan dan pengukuran atas item-item dalam pelaporan keuangan lebih menekankan prinsip biaya historis sedangkan IFRS lebih menekankan pada prinsip fair value, suatu prinsip yang sangat berbeda namun akan membawa dampak yang sangat signifikan.
  

B.       RINGKASAN PSAK 19

Tujuan
Tujuan dari Pernyataan ini adalah untuk menentukan perlakuan akuntansi bagi aset tidak berwujud yang tidak diatur secara khusus pada standar lainnya. Pernyataan ini mewajibkan entitas untuk mengakui aset tidak berwujud jika, dan hanya jika, kriteria-kriteria tertentu dipenuhi. Pernyataan ini juga mengatur cara mengukur jumlah tercatat dari aset tidak berwujud dan menentukan pengungkapan yang harus dilakukan bagi aset tidak berwujud.
Keteridentifiasian dan manfaat ekonomis masa depan
Dalam definisi aset tidak berwujud terdapat kriteria bahwa keteridentifikasian aset tidak berwujud harus dapat dibedakan secara jelas dengan goodwill. Goodwill dalam sebuah kombinasi bisnis diakui sebagai aset yang menggambarkan manfaat ekonomis di masa depan yang muncul dari aset lain yang diakuisisi dalam kombinasi bisnis tersebut yang tidak didefinisikan secara individual dan diakui secara terpisah. Manfaat ekonomis di masa depan dapat dihasilkan dari sinergi antara aset teridentifikasi yang diperoleh atau dari aset, yang secara individu, tidak memenuhi syarat untuk pengakuan dalam laporan keuangan.
Suatu aset dikatakan dapat diidentifikasi jika:
1.    Dapat dipisahkan, yaitu dapat dipisahkan atau dibedakan dari entitas dan dijual, dipindahkan, dilisensikan, disewakan atau ditukarkan, baik secara tersendiri atau bersama-sama dengan kontrak terkait, aset atau liabilitas teridentifikasi, terlepas dari apakah entitas bermaksud untuk melakukan hal tersebut; atau
2.    Timbul dari kontrak atau hak legal lainnya, terlepas dari apakah hak tersebut dapat dialihkan atau dipisahkan dari entitas atau dari hak-hak dan kewajiban-kewajiban lainnya.
Manfaat ekonomis masa depan yang timbul dari aset tidak berwujud dapat mencakup pendapatan dari penjualan barang atau jasa, penghematan biaya, atau manfaat lain yang berasal dari penggunaan aset tersebut oleh entitas. Misalnya, penggunaan hak kekayaan intelektual dalam suatu proses produksi tidak meningkatkan pendapatan masa depan, tetapi menekan biaya produksi masa depan
Pengakuan Dan Pengukuran
Dalam mengakui suatu pos sebagai aset tidak berwujud, entitas perlu menunjukkan bahwa pos tersebut memenuhi:
1.    Definisi aset tidak berwujud (lihat paragraf 8–18); dan
2.    Kriteria pengakuan (lihat paragraf 21–23)
Persyaratan tersebut diterapkan atas biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh atau mengembangkan secara internal aset tidak berwujud dan biaya yang terjadi kemudian untuk menambahkan, mengganti sebagian, atau memperbaiki aset tersebut.
Paragraf 25–32 berhubungan dengan penerapan kriteria pengakuan untuk membedakan aset tidak berwujud, dan paragraf 33–42 diterapkan pada aset tidak berwujud yang didapatkan dalam kombinasi bisnis. Paragraf 43 berlaku untuk pengukuran awal aset tidak berwujud yang didapatkan dari hibah pemerintah, paragraf 44–46 mengenai pertukaran aset tidak berwujud, dan paragraf 47–49 berhubungan dengan perlakuan goodwill yang dihasilkan secara internal. Paragraf 50–66 berhubungan dengan pengakuan awal dan pengukuran dari aset tidak berwujud yang dihasilkan secara internal.
Sifat dari aset tidak berwujud adalah sedemikian, sehingga dalam banyak kasus tidak ada yang dapat ditambahkan atas aset tidak berwujud atau bagian dari aset tidak berwujud. Sehubungan dengan hal tersebut, kebanyakan pengeluaran selanjutnya digunakan untuk menjaga manfaat ekonomis masa depan yang diharapkan dari aset tidak berwujud yang sudah ada, sehingga pengeluaran tersebut tidak dapat memenuhi definisi aset tidak berwujud dan kriteria pengakuan dalam Pernyataan ini. Selain itu, seringkali sulit untuk mengaitkan pengeluaran selanjutnya secara langsung terhadap aset tidak berwujud tertentu namun lebih terkait dengan usaha (bisnis) secara keseluruhan. Oleh sebab itu, jarang sekali terjadi pengeluaran selanjutnya–pengeluaran yang diakui setelah pengakuan awal aset tidak berwujud yang diperoleh atau setelah penyelesaian dari aset tidak berwujud yang dihasilkan secara internal–diakui dalam jumlah tercatat sebuah aset. Konsisten dengan paragraf 62, pengeluaran selanjutnya atas merek, kepala,surat kabar (mastheads), judul publisitas, daftar pelanggan dan hal–hal yang memiliki kemiripan substansi (baik diakui secara eksternal atau diperoleh secara internal) selalu diakui dalam laporan laba rugi sesuai terjadinya. Hal ini disebabkan pengeluaran tersebut tidak dapat dipisahkan dari pengeluaran untuk mengembangkan bisnis secara keseluruhan.
     Aset tidak berwujud harus diakui jika, dan hanya jika:
1.      Kemungkinan besar entitas akan memperoleh manfaat ekonomis masa depan dari aset tersebut
2.        Biaya perolehan aset tersebut dapat diukur secara andal.
Dalam menilai kemungkinan adanya manfaat ekonomis masa depan, entitas harus menggunakan asumsi masuk akal dan dapat dipertanggungjawabkanyang merupakan estimasi terbaik manajemen atas kondisi ekonomi yang berlaku sepanjang masa manfaat aset tersebut. Dalam menilai tingkat kepastian akan adanya manfaat ekonomis masa depan yang timbul dari penggunaan aset tidak berwujud, entitas mempertimbangkan bukti yang tersedia pada saat pengakuan awal aset tidak berwujud dengan memberikan penekanan pada bukti eksternal.
Biaya Perolehan Aset Tidak Berwujud yang Dihasilkan Secara Internal
Biaya perolehan aset tidak berwujud yang dihasilkan secara internal sebagaimana dimaksudkan dalam paragraf 24 adalah jumlah pengeluaran yang dilakukan sejak tanggal aset tidak berwujud pertama kali memenuhi kriteria pengakuan sebagaimana diatur dalam paragraf 21, 22, dan 56. Paragraf 71 melarang pengeluaran yang diakui sebagai beban pada laporan keuangan tahunan atau laporan keuangan interim periode sebelumnya untuk diakui sebagai bagian dari biaya perolehan aset tidak berwujud.
          Biaya perolehan aset tidak berwujud yang dihasilkan secara internal terdiri atas seluruh biaya terkait langsung yangdibutuhkan untuk membuat, menghasilkan dan mempersiapkan aset tersebut sehingga siap untuk digunakan sesuai dengan cara yang dimaksudkan oleh manajemen. Contoh-contoh dari biaya yang dapat diatribusikan adalah:
a)          Biaya bahan baku dan jasa yang digunakan atau dikonsumsi dalam menghasilkan aset tidak berwujud
b)         Biaya perolehan imbalan kerja (seperti yang diungkapkan dalam PSAK 24(revisi 2004): Imbalan Kerja) yang timbul dalam menghasilkan aset tidak berwujud tersebut
c)           Biaya untuk mendaftarkan hak legal
d)            Amortisasi paten dan lisensi yang digunakan untuk menghasilkan aset tidak berwujud tersebut.
PSAK 26 (revisi 2008): Biaya Pinjaman menetapkan kriteria untuk pengakuan bunga sebagai elemen biaya perolehan aset tidak berwujud yang dihasilkan secara internal. Berikut hal–hal yang tidak termasuk dalam komponen biaya aset tidak berwujud yang dihasilkan secara internal:
a)          Biaya penjualan, biaya administrasi, dan biaya overhead umum lainnya, kecuali jika biaya tersebut dapat secara langsung dikaitkan untuk menyiapkan aset tersebut untuk dapat digunakan
b)         Inefesiensi yang teridentifikasi dan kerugian operasi awal yang muncul sebelum aset memenuhi kinerja yang direncanakan
c)           Pengeluaran untuk pelatihan karyawan yang mengoperasikan aset.

Pengukuran Setelah Pengakuan
Entitas harus memilih baik model biaya pada paragraf 74 atau model revaluasi pada paragraf 75 sebagai kebijakan akuntansinya. Jika suatu aset tidak berwujud dicatat dengan menggunakan model revaluasi, semua aset lainnya dalam kelas tersebut harus dicatat dengan menggunakan model yang sama, kecuali tidak ada pasar aktif untuk aset tersebut.
          Sekelompok aset tidak berwujud adalah sekelompok aset dengan sifat alami yang sama dan digunakan dalam kegiatan operasi entitas. Aset-aset didalam sekelompok aset tidak berwujud direvaluasi pada waktu yang bersamaan untuk menghindari revaluasi aset secara selektif dan pelaporan jumlah dalam laporan keuangan yang menggambarkan perpaduan biaya dan nilai aset pada tanggal yang berbeda.
1.      Model Biaya.
Setelah pengakuan awal, suatu aset tidak berwujud harus dinilai pada biaya perolehanya dikurangi oleh akumulasi penyusutan dan akumulasi kerugian atas penurunan nilai.
2.      Model Revaluasi.
   Setelah pengakuan awal, suatu aset tidak berwujud harus dinilai atas nilai revaluasinya, dicatat pada nilai pasar pada tanggal revaluasi dikurangi nilai akumulasi penyusutan selanjutnya dan akumulasi kerugian penurunannilai aset selanjutnya. Untuk tujuan revaluasi berdasarkan Pernyataan ini, nilai wajar harus ditentukan dengan menggunakan referensi dari sebuah pasar aktif. Revaluasi harus dilakukan secara rutin pada tiap akhir periode pelaporan sehingga jumlah tercatat aset tidak memiliki perbedaan yang material dengan nilai wajarnya.
Model revaluasi tidak memperbolehkan:
a)      Revaluasi aset tidak berwujud yang sebelumnya belum pernah diakui sebagai aset; atau
b)      Pengakuan awal aset tidak berwujud pada jumlah (tertentu) selain dari biayanya.

     Penelaahan Periode Amortisasi dan Metode Amortisasi
Periode amortisasi dan metode amortisasi ditinjau setidaknya setiap akhir tahun buku. Jika perkiraan masa manfaat aset berbeda secara signifikan dengan estimasi–estimasi sebelumnya, periode amortisasi harus disesuaikan. Jika terjadi perubahan yang signifikan dalam perkiranan pola konsumsi manfaat ekonomis dari aset, metode amortisasi harus diubah untuk mencerminkan pola yang berubah tersebut. Perubahan tersebut harus dicatat sebagai perubahan estimasi akuntansi sesuai dengan PSAK 25 (revisi 2009): Kebijakan Akuntansi, Perubahan Estimasi Akuntansi, dan Kesalahan.
Pada saat tertentu di sepanjang umur suatu aset tidak berwujud, mungkin timbul indikasi bahwa estimasi masa manfaat aset tersebut kurang tepat. Misalnya, pengakuan kerugian atas penurunan nilai dapat mengidikasikan bahwa periode amortisasi perlu dirubah.
Seiring berjalannya waktu, pola manfaat ekonomis masa depan yang diharapkan mengalir ke entitas dari suatu aset tidak berwujud dapat berubah. Misalnya, dapat timbul indikasi bahwa metode amortisasi saldo menurun ternyata lebih tepat jika dibandingkan dengan metode garis lurus.
Contoh lainnya adalah apabila penggunaan hak yang diperoleh melalui suatu lisensi ditangguhkan menunggu tindakan/putusan pada komponen lainnya dari suatu rencana usaha, manfaat ekonomis yang timbul dari aset tersebut mungkin tidak diterima hingga periode berikutnya.
     Aset Tidak Berwujud Dengan Masa Manfaat Tak Terbatas
Suatu aset tidak berwujud dengan masa manfaat tak terbatas tidak boleh diamortisasi. Sesuai dengan PSAK 48 (revisi 2009): Penurunan Nilai Aset, suatu entitas disyaratkan untuk menguji aset tidak berwujud dengan masa manfaat tak terbatas untuk penurunan nilai dengan membandingkan jumlah terpulihkan dengan jumlah tercatatnya baik setiap tahun; dan Kapanpun apabila terdapat indikasi bahwa aset tidak berwujud mengalami penurunan nilai.
Pemulihan Kembali Jumlah Tercatat–Rugi Penurunan Nilai
Untuk menentukan apakah suatu aset tidak berwujud mengalami penurunan nilai, entitas menerapkan PSAK 48 (revisi 2009: Penurunan Nilai Aset. Pernyataan tersebut menjelaskan kapan dan bagaimana suatu entitas menelaah jumlah tercatat aset, bagaimana menentukan jumlah terpulihkan suatu aset dan kapan entitas mengakui atau membalik kerugian penurunan nilai.
      Penghentian Dan Pelepasan
Suatu aset tidak berwujud harus dihentikan pengakuannya bila:
1.    Dalam (proses) pelepasan; atau
2.    Ketika tidak terdapat lagi manfaat ekonomis masa depan yang diharapkan dari penggunaan
     atau pelepasannya.
Keuntungan atau kerugian muncul dari penghentian pengakuan suatu aset tidak berwujud harus ditetapkan sebagai perbedaan antara nilai bersih pelepasan (jika ada) dan nilai wajar aset. Hal tersebut harus diakui dalam laporan laba rugi ketika aset dihentikan pengakuannya (kecuali PSAK 30 (revisi 2007): Sewa mengecualikan hal tersebut seperti dalam sebuah penjualan dan penyewaan kembali). Keuntungan tidak boleh diakui sebagai pendapatan. Pelepasan suatu aset tidak berwujud dapat dilakukan dengan berbagai cara (contohnya, melalui penjualan, melalui sewa pembiayaan, atau disumbangkan). Dalam menentukan tanggal penghapusan aset seperti itu, suatu entitas menerapkankriteria dalam PSAK 23 (revisi 2009): Pendapatan untuk mengakui pendapatan dari penjualan barang. PSAK 30 (revisi 2007): Sewa diterapkan pada penghapusan dengan cara penjualan dan sewa kembali
Sesuai dengan prinsip pengakuan dalam paragraf 21, jika suatu entitas mengakui biaya penggantian sebagian dari aset tidak berwujud ke dalam jumlah tercatat aset tidak berwujudnya, maka entitas juga menghentikan pengakuan jumlah tercatat dari bagian yang diganti, Jika tidak praktis bagi entitas untuk menentukan nilai wajar bagian sebuah aset yang diganti tersebut, entitas boleh menggunakan biaya proses penggantian sebagai indikator berapa nilai perolehan dari bagian pengganti pada saat pengganti tersebut diperoleh atau di kembangkan secara internal.

Pada kasus perolehan kembali hak dalam suatu kombinasi bisnis, jika selanjutnya hak diterbitkan kembali (dijual) ke pihak ketiga, jumlah tercatat terkait, jika ada, harus digunakan dalam menentukan keuntungan atau kerugian saat penerbitan ulang.
Imbalan yang dapat diterima pada saat penghapusan suatu aset tidak berwujud diakui pada awalnya sesuai dengan nilai wajarnya. Jika pembayaran untuk aset tidak berwujud tersebut ditangguhkan, maka imbalan yang diterima diakui sesuai (equivalent) dengan harga tunai. Perbedaan antara jumlah nominal dari imbalan dan harga tunai equivalen diakui sebagai pendapatan bunga sesuai dengan PSAK 23 (revisi 2009): Pendapatan yang menggambarkan penghasilan pada piutang. Amortisasi suatu aset tidak berwujud dengan masa manfaat terbatas tidak berakhir jika aset tersebut tidak lagi digunakan, kecuali aset tersebut sudah sepenuhnya disusutkan atau digolongkan sebagai aset yang dimiliki untuk dijual (atau termasuk dalam sekelompok aset lepasan yang digolongkan sebagai aset dimiliki untuk di jual) sesuai dengan PSAK 58(revisi 2009): Aset Tidak Lancar yang Dimiliki untuk Dijual dan Operasi yang Dihentikan           

C.    Critical PSAK 19
Menurut pendapat penulis masa manfaat tak terbatas untuk jumlah aset tidak terwujud sebaiknya tidak digunakan. Karena cukup dengan aturan terbatas mungkin bagi entitas akan lebih jelas  Sehingga bisa diungkapkan tingkat amortisasi yang digunakan atau masa manfaatnya. Cara akuisisi ( manner of acquisition ). Amortisasi kebanyakan merupakan biaya usaha dan jarang digolongkan ke dalam harga pokok produksi, kecuali merk dagang yang memang digolongkan ke dalam kelompok harga pokok penjualan. Amortisasi lebih baik jika dihitung menggunakan metode garis lurus saja, karena pada dasarnya intangible asset tidak dipengaruhi, bahkan tidak ada hubungannya dengan output produk yang dihasilkan oleh perusahaan. Aktiva tak berwujud dapat diperoleh dengan cara membelinya dari entitas lain. Seperti membeli wiralaba atau paten dari orang lain.Tetapi menurut pendapat penulis sebaiknya aturan untuk membeli dari entitas lain tidak harus dilakukan, sehingga para entitas lebih kreatif untuk mempunyai suatu yang unik , contohnya adalah paten dan merek dagang. Hal ini dapat memberikan value kepada entitas yang nantinya akan diwariskan untuk para karyawan dimasa yang akan datang.

  
REFRENSI
DSAK Ikatan Akuntan Indonesia (2016). PSAK 19 Aset Tidak Berwujud. Jakarta: Dewan Standar Akuntansi Keuangan
Epstein, B. J., & Jemakowicz., E, K. (2007). Interpretation and Apllicationof IAS. New York: John Wiley & Sons.